Due to flexibility and visual reason, I've moved my website to blogspot.
Thank you for enriching my life. :)
Thank You for Visiting My Website.
Due to flexibility and visual reason, I've moved my website to blogspot. Thank you for enriching my life. :)
4 Comments
Daun Berayun dalam Hening “Setiap pagi di Benua Afrika, seekor Kijang bangun tidur untuk mencari makan & ia tahu harus berlari lebih cepat dari Singa, karena jika tidak maka ia akan mati dimakan Singa. Dan setiap pagi pula seekor Singa bangun tidur dan harus berlari lebih cepat dari Kijang atau ia akan mati kelaparan. Dalam hidup ini kita harus berpacu dengan waktu. Tak peduli apakah kita Singa atau Kijang yang penting kala matahari terbit, kita harus berlari cepat untuk menjemput rizqi, yang telah disediakan Allah SWT. Oleh karena itu, JANGAN MALAS...!!! DISIPLIN adalah melakukan sesuatu dengan semangat baja, walaupun sebenarnya kita enggan 'tuk melakukannya. Kualitas inilah yang memisahkan diri kita dari kelompok orang-orang gagal. Bak kata pepatah, burung penguin akan berkelompok dengan burung penguin, demikian pula burung dara akan berkelompok dengan burung dara yang sejenis. Orang sukses pasti suka berkawan dengan orang sukses, dan sebaliknya pemalas akan berkelompok dengan pemalas. Masalah terbesar didunia ini adalah orang paling suka menunda tugas pekerjaan yang semestinya bisa ia kerjakan hari ini. Dan hampir sebagian besar kegagalan disebabkan oleh masalah penundaan. Sebuah renungan yang pantas kita sadari bersama" Begitu bunyi postingan rekan kerja yang saya baca kemarin pagi. Postingan ini bertujuan untuk menggugah semangat rekan-rekan dalam bekerja, agar kita tidak malas dan berusaha sebaik mungkin dalam setiap kesempatan. Dan itu baik. Namun, bertolak belakang dengan pesan moral dalam kisah di atas, saya terpaksa menunda untuk setuju sepenuhnya. Bukan, bukan berarti saya tidak setuju bahwa penundaan itu buruk. Saya sangat setuju. Yang saya tunda adalah persetujuan dengan gagasan bahwa ‘Hidup adalah arena pacu antara kita dan waktu’. Apakah kita benar-benar berpacu dengan waktu? Ataukah kita berpacu melawan diri kita sendiri serta kebutuhan-kebutuhan superfisial? Ada satu hal tentang waktu yang baru kusadari setelah membaca kisah di atas. Seumur hidup, masyarakat menuntut kita untuk selalu terburu-buru. Menikmati waktu 'luang' adalah ‘dosa’ dalam sebagian besar kamus kita. Kita selalu terburu-buru bangun, terburu-buru mengemudi, terburu-buru melakukan hal lain saat kita sedang melakukan sesuatu, terburu-buru ingin weekend saat masih week days, dan terburu-buru ingin mendapatkan sesuatu saat kita belum mampu. Kita banyak berlari, kebutuhan spiritual terabaikan, bahkan untuk makan dengan nyaman pun kita ‘tak punya waktu lagi’. Tak heran kita selalu lelah... Menikmati Waktu Sebagaimana Adanya Apakah kita bisa mempercepat waktu? Kurasa tidak, tapi kita bisa mengabaikannya jadi waktu terasa berlalu lebih cepat. Bisakah kita mengulang waktu? Kurasa tidak, tapi kita bisa mengulang-ngulang kejadian yang telah lewat di kepala kita sementara waktu yang sedang kita alami bergerak menjadi masa lalu. Apapun yang kita pilih diantara dua hal itu, kita salah. Setiap saat sedetik Waktu yang baru lahir ke dunia. Setiap tarikan nafas. Setiap hembusan nafas, Waktu yang barusan lahir telah berakhir. Untuk apa mengingat-ngingat yang telah terjadi, atau mengharap-harap yang belum pasti? Seperti yang dikatakan Einstein, Waktu adalah relatif. Tapi kurasa bukan maksud Einstein untuk mengatakan bahwa 'Waktu adalah Uang', seperti yang diyakini oleh sebagian besar orang. Kurasa yang ingin disampaikan oleh Einstein adalah: "Waktu sangat Berharga, ya, maka jika sesuatu layak untuk dilakukan, ia layak dilakukan dengan sebaik-baiknya". Lupakan produktivitas, fokuslah pada satu hal dan lakukan dengan sebaik-mungkin, dengan Cinta. Kita tidak sedang berpacu melawan waktu. Kita sedang berpacu dengan harapan dan mimpi-mimpi kita, dengan kekurangan-kekurangan yang kita persepsi sendiri. Kita hidup dengan terburu-buru atau mundur melalui memori. Kemudian waktu terasa sempit, terasa menyesakkan, terasa tidak membebaskan. Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah mereka yang tidak menikmati apa yang mereka lakukan dalam waktu yang sesaat itu. Nikmatilah Waktu Apa Adanya.. Waktu yang mengada dalam tiap hela nafas, tiap denyut nadi... Nikmati saat demi saat, dan jadilah bahagia karenanya. Nikmati aktivitas yang kita lakukan, dan syukuri ia dengan seluruh darah dalam nadi. Bernafaslah lebih banyak, lebih sering. Beristirahatlah lebih tenang, tanpa banyak rencana. Ingat, kita tidak sedang berlomba untuk mencapai garis akhir. :) ~Ephiphany~ Terkadang hanya perlu satu kejadian untuk membuat kita sadar mengenai hidup. Sebuah epiphany. Yang menyulut keputusan dari otak yang koma sekian lama. Sebuah urgensi bahwa kita tak boleh berdiam diri. Dalam kasus saya, epiphany ini muncul berkali-kali tempo hari. Ephiphany Nomor Wahid Sudah lama saya mendambakan kesempatan untuk bisa lebih berkontribusi. Hal ini karena pekerjaan saya sebelumnya amatlah membosankan. Hanya control dan maintenance, meskipun terkadang jiwa saya hidup lalu membuat proyek-proyek berbobot. Tapi jika dibandingkan, sebagian besar waktu saya di kantor tidak efektif. Tidak berlebihan jika saya bilang, saya telah lumpuh secara mental. Juli, datanglah panggilan dari sesepuh perusahaan, seorang yang saya hormati. Beliau meminta saya untuk mengambil bagian di Marketing Communication. Wow, sebuah tantangan baru! Saya yang sejatinya selalu mencari tantangan dan benci stagnasi, menjadi bergairah dan bersemangat. Tanpa berpikir dua kali saya mengangguk dan menyanggupi. Tiba-tiba saja comfort zone saya bergetar, gempa. Saya didorong kesana-kemari untuk belajar. Kembali ke nol. Kembali ke gelas kosong. Penuh tekanan, tangisan dan tidur malam yang tidak berkualitas. Tetapi saya belajar banyak hal. Bukan hanya soal pekerjaan itu sendiri, tetapi tentang diri saya sendiri. Berlian itu lahir dari panas tinggi, katanya. Untuk pertama kalinya sejak beberapa lama, saya melihat diri saya sebagai pribadi yang lebih bijaksana. Bila sebelumnya saya short-tempered, saya jadi bisa menahan diri dan tetap tersenyum. Bila sebelumnya saya cenderung introvert, saya jadi social person. Bila sebelumnya saya gampang lelah, stamina saya melesat seperti roket! Terberkatilah Markom dan atasan saya! Epiphany Nomor Dua Pekerjaan Markom ternyata tidak berlangsung lama. Di akhir Agustus, saya dipanggil 'pulang' ke departemen semula. 'Hanya untuk sementara, sampai akhir 2012.' kata atasan saya. Tidak masalah, senyum saya dalam hati, karena saya juga butuh liburan dari pekerjaan yang tak kunjung usai. Lagipula pekerjaan saya di departemen asal belum selesai, dan masih butuh konsentrasi saya. Setidaknya saya akan menyelesaikannya di Desember 2012. Saya bertekad untuk menyelesaikannya secepat dan sebaik mungkin. Tapi rencana kecil saya dikagetkan oleh kejutan lainnya. Di awal September, saya diberitahu bahwa atasan saya melepas sepenuhnya saya ke bagian Marketing Communication. “Horee!” Sorak sorai saya dalam hati! Akhirnya saya bisa berkontribusi! Akhirnya saya bisa membuat diri saya berguna disini! Akhirnya ada hal sungguhan yang bisa saya lakukan! Saya benar-benar menjadi orang Markom, bukan hanya membantu. Saya punya plan A, plan B, plan C. Rencana belajar A, B dan C. Markom tempat yang menggairahkan, penuh daya kehidupan. Jadi saya tidak sabar memulai peran baru sebagai asisten manajer Markom. Tiba-tiba, lewat satu minggu dari itu, runtuh semua rencana-rencana saya. “Maaf, kayaknya kamu ga jadi pindah. Bapak bilang kamu ga boleh kemana-mana. Tetap di BPI*.” kata mantan calon atasan saya. Saya terkejut. Kenapa baru bilang saat saya bertanya soal SK? Kenapa tidak sebelumnya? Apa yang membuat mereka begitu egois?? Saya marah. Meski wajah saya tenang. Saya kecewa. Meski suara saya tak berubah. Saya tak peduli lagi. Lebur. Saya tak punya rencana. Saya hampa. “Saya butuh kamu untuk menjadi backbone perusahaan ini. Saya ingin kamu nanti bisa menjadi penerus-penerus pimpinan. Tapi saya ingin kamu berusaha untuk itu. You have to earn it!” nasihat sang Bapak. Dia menjelaskan visinya mengenai apa yang saya lakukan. Dan saya hanya mendengarkan dan berusaha memahami. Tapi rasa kecewa membuat saya tidak bisa memahami jalan pikirnya. Tidak bisa mengangkat hati saya yang seharusnya merasa terberkati karena diplot jadi salah satu pimpinan (meski sang Bapak selalu mengatakan itu kepada setiap orang). Yang ada hanya rasa yang semakin bingung. Semakin kecewa. Apa yang harus saya lakukan? Rencana apa yang bisa saya bangun? Tidak, kurasa tak bisa kulihat jembatan antara aku dan bayangmu tak ada jalan pintas atau pohon doyong tempatku menjejak sebelum lompat. Hanya jalan memutar Turun ke lereng lalu naik ke tebing curam Diujung sana tak bisa kulihat Pekat gumpal cahaya Hilang sudah semua Samar “Di akhir perjalanan” Dinar Surtikarani 19 Sept 2011 Setelah mengambil cuti satu hari, alam bawah sadar saya memperbaiki dirinya sendiri. Barulah saya bisa memahami apa kata sang Bapak. Saya bisa melihat jembatannya. Visi sang Bapak, dan misi-misi untuk mewujudkannya. Sedikit demi sedikit semangat saya kembali. Tidak terlambat, saya masih bisa bergerak! Epiphany Terakhir (Sejauh ini) Biar saya tuliskan saja resume dari apa yang terjadi. Mimpi yang terkucil hanyalah kabut. Mimpi yang dikebiri hanyalah angan kosong. Tidak akan ada apa-apa di ujung jalan, jika jalannya tak akan ada. Seharian saya dan kolega saya membangun mimpi, visi, misi, rencana kerja. Untuk terhempas begitu saja. Tak akan ada perubahan, imbuh saya dalam hati. Bukan prioritas, timpal orang lain disudut sana. Lalu saya menundukkan kepala, miris. Semangat saya tak kembali. Lalu penghayatan itu muncul ke permukaan, bahwa saya selalu punya pilihan. Saya, demi Allah, selalu punya pilihan. Teringat tulisan Leo Babauta beberapa waktu sebelumnya, “When you are forced to cut back, you can moan, or you can find joy. We chose the path that made us happiest.” We have to chose the path that made us happiest. *BPI = Business Process Improvement
Aku mengawali tulisan ini dengan mantra: “Tuhan, ijinkan aku menulis.” Dan beginilah, kurasakan kata-kata mengalir dalam jiwaku, menghentak-hentak untuk menampakkan dirinya. Sudah lama aku tidak menulis. Sudah sangat lama. Dan jari-jari kaku-ku mungkin kartu identitas terbaik dari keterbengkalaian itu (yang menjadi kaku dan gemuk). Padahal aku menulis bukan karena aku mampu. Aku menulis karena aku harus, karena aku butuh. Jika lalai, aku mendapati diriku merasa sendu, tak ada arti, bimbang, dan tak nyata. Aku Menulis, maka Aku Ada. Bila Descartes bersabda, “Aku Berpikir, maka Aku Ada”, maka sabdaku berbeda. Pikiranku melimpah-ruah, melayang-layang bebas, datang dan pergi sesuka hati. Bagaimana aku tahu aku Ada jika Pikiranku samar-samar dan esoterik? Maka mestilah ada Kata untuk membuatnya nyata. Pikiranku harus dibuat nyata, jika aku ingin mengakui bahwa ia ada. Maka jari-jariku bekerja untuk membuat pikiran paling bodoh menjadi nyata. Lalu Aku terlahir kembali di dunia. Lewat mata yang baru lagi. (Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengijinkan hamba menulis. Meski singkat, hamba kini telah Nyata)
thejolynproject.com "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang diantara kamu; lalu dia berkata: "Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh." (Al-Munafiqun, 9-10)
http://ejomlexus.files.wordpress.com Seandainya saja saya dapat mendengar apa yang dikatakan Waktu, mungkin saya akan mendengar teriakan-teriakan marah darinya, “Hei Dinar, bangunlah! Hiduplah! Menjadilah!” WAKTU tak pernah berhenti untuk apapun, untuk siapapun. Meski saya melupakannya, atau terlupa darinya. Waktu terus menyisip sedikit-sedikit, bak gelas pasir yang kita lihat di film the Sands of Time. Waktu dan Kita Seringkali kita lupa, bahwa waktu sesungguhnya sangat terbatas. Apa yang telah terlepas, tak akan pernah bisa ditangkap kembali. Yang sudah berlalu, tetap abadi di masa lalu. Banyak orang yang sia-sia mencari cara untuk kembali ke masa lalu, hidup di masa lalu, hingga pada akhirnya mereka berakhir di rumah sakit jiwa atau paling banter di rumah-rumah pemulihan. Pernahkah teman membaca novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami? Jika ya, mungkin teman sepakat, bahwa novel ini -selain menggambarkan gairah vulgar anak-anak Tokyo jaman revolusi- menggambarkan bagaimana hubungan Manusia dan Waktu tidak pernah setara. Waktu selalu ada di samping kita, tapi tidak pernah berjalan sejajar, ia berjalan bersama kita, tetapi selalu satu langkah di depan. http://3.bp.blogspot.com Saya membayangkan Waktu sebagai saudara kembar yang sedang melakukan perjalanan. Waktu sama persis dengan kita, hanya saja ia lebih superior. Sesekali kita bertanya arah padanya, tapi dia hanya akan mengibaskan bahunya dan berkata, “terserahmu saja.”. Saat kita minta pendapatnya, dia hanya berpikir-pikir lalu berkata, “mungkin saja.”. Seberapa cepat langkah kita, kita tak bisa mendahuluinya. Jika kita ragu dan memutuskan untuk berhenti, ia tak menengok ke belakang pun tidak memelankan langkah. Waktu tak pernah berhenti, maka kita pun tergesa-gesa mengejarnya. Semakin sering kita berhenti, semakin sering pula kita bersimbah peluh berusaha mengimbangi sang Waktu. Saudara kembar yang misterius. Mungkin sesekali kita harus mengajaknya minum-minum sampai ia mabuk, dan bersedia melantur tentang apa yang ia lihat di depan sana. Tapi, mungkin apa yang dia katakan benar-benar omong kosong yang tak perlu didengarkan. Apa gunanya mengetahui “hari ini cuaca cerah, dan kamu akan mendapatkan sebuah keberuntungan beberapa langkah ke depan.”, lalu kita menjadi waspada hanya pada jalan di depan sana, dan melewatkan pemandangan surealis di sekitar kita? Kurasa bukan kata-kata macam itu yang kita ingin dengar... Kurasa yang kita butuhkan adalah saudara kembar yang mampu menampar wajah kita saat kita ingin berhenti. Ia berjalan di depan, agar kita selalu termotivasi. Ia tak memelankan langkah agar kita paham pentingnya perjalanan. Sesekali, mungkin kita juga harus berhenti berbicara dan benar-benar mendengarkan, karena siapatahu diantara langkahnya yang tegap, ia berteriak memotivasi “Bangun! Bergerak! Ayo, perjalanan masih panjang!”. Ah, saudara kembar yang superior, selamanya kami berhutang padamu. Alkisah, seorang pemuda yang ibadahnya biasa-biasa saja, didaulat untuk masuk surga hanya karena tak pernah menyimpan dendam. Jika ada yang berbuat salah padanya, ia segera memaafkan. Indah nian jika setiap orang di dunia mampu meneladani si pemuda, dan menjadi golongan Sang Pemaaf. Subhanallah. Menurut saya, Pemaaf adalah sifat Allah yang paling sulit untuk diteladani. Berapa keraspun saya berkata berulang-ulang “saya maafkan, saya maafkan”, dengan teknik-teknik self-hypnosis yang saya pelajari, atau dengan mencoba berempati, emosi negatif itu masih saja berkecamuk dalam hati saya. Saya merasa, memaafkan adalah teknik hidup yang perlu disiplin berpuluh tahun hingga seseorang bisa menguasainya. Seperti Rasulullah, yang hanya berkeringat dahinya saat marah. Topik inilah yang saya bawa ke Kajian Senin Kamis perusahaan terkeren sejagad raya, Shafira Corporation, kamis tadi. Saat itu keadaan saya persis, sedang mengalami gejolak emosi, karena tersentil oleh omongan orang lain (yang saya yakin, bahwa ia tidak bermaksud buruk). Kismis sore itu dihadiri oleh cukup banyak jamaah, yang ternyata memiliki kesulitan yang mirip-mirip dengan saya. Dan akhirnya, diskusi yang semestinya hanya 7 menit, menjadi molor lebih dari 10 menit. Tapi tentu, dengan kesimpulan yang luar biasa mencerahkan. Berikut saya paparkan, Sang Pemaaf... Sang Pemaaf Kita semua tahu, dan acap kali membaca, bahwa saat kita menyimpan dendam justru kitalah yang dirugikan. Energi kita terbuang, waktu kita tersia-sia, dan yang paling penting, orang yang kita benci tidak merasakan apapun. Kita pun menjadi lelah. Jadi, tidak ada manfaat apapun saat kita marah. Satu. Ketika seseorang merasa marah, fokusnya adalah pada orang yang menyakiti atau pada perbuatannya. Rekaman kejadian itu berulang terus di kepala seperti seseorang menekan tombol reply. Indefinitely. Kompor emosi kita terus dibakar, dibumbui terus dalam setiap sekuen rekamannya. Maka, marilah kita contoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saat beliau marah: mengalihkan fokus dari Dia/Mereka dan Perbuatannya, kepada Saya dan Tuhan. Saat Rasulullah marah, beliau malah berdoa kepada Allah, untuk mengampuni orang itu dan mengampuni dirinya sendiri. Beliau menjadi lebih sibuk berdoa ketimbang memikirkan pendzoliman orang. Alihkan fokusnya, ke Kita dan Tuhan. Dua. "Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan." - Al-Hadist Saat Allah menciptakan manusia, Ia menitipkan Kasih (Rahman) dan Sayang (Rohiim) pada manusia, melalui hati mereka. Meski tak akan sempurna, tugas kita adalah memelihara hati yang dititipkan Allah. Bangunlah hati yang penuh maaf, hingga meski sebaskom dendam tumpah kedalamnya, tak akan berpengaruh pada samudera maaf kita. Allah telah Mengasihi kita, maka kasihilah orang lain. Tiga. “… dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22) Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Asy-Syura ayat 43 : “Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan sesungguhnya [perbuatan] yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” Ladies and Gentlements, saya bukan orang yang sangat murah hati atau perhatian, bukan juga orang yang sangat pelit atau keras hati. Saya rasa saya orang yang biasa-biasa saja, cukup. Cukup murah hati, cukup perhatian, cukup pelit, cukup keras hati. Hehehhehe.... Amit-amit deh~ Meski saya ini serba 'berkecukupan', saya rasa saya punya kelebihan dalam bidang Personal Development. Jika saya salah, saya mengakuinya, lalu belajar dari kesalahan itu. Saat saya jatuh, saya belajar untuk bangkit, dan menghindari kejatuhan yang sama. Saat saya menyakiti orang lain, saya marah (lho), terus minta maaf, lalu bertekad untuk tidak mengulangi. Dari setiap poin-poin itu, saya selalu belajar. Terus menerus. Dari setiap kesalahan, kejatuhan, pendzoliman. Manusia Pembelajar Saya rasa itulah sikap utama yang paling penting untuk dimiliki manusia pembelajar. Kita tidak harus menjadi sempurna sekarang. Karena 'kesempurnaan' itu diraih dengan memperbaiki banyak kekurangan. Bagaimana kita bisa menyempurnakan, saat kita terlalu berhati-hati dalam seluruh aspek hidup? Terlalu berhati-hati sampai-sampai kita tidak mengenal siapa kita sebenarnya? Berani kotor itu baik, katanya. Berani berbuat salah, berani menaggung kesalahan, berani belajar, berani bertumbuh. Berani menjadi diri sendiri, dan berani memperbaiki diri. Itulah sikap seorang pemenang. Oh belum, saya belum menjadi pemenang, tapi saya yakin proses pembelajaran saya akan membawa saya kesana, eventually. :) Saat Kita Terlalu Berhati-Hati Saat kita terlalu berhati-hati dalam menjalani hidup, terlalu berhati-hati untuk tidak menyakiti orang lain saat bicara, mengambil jalur cepat di tol, atau berhati-hati untuk tidak berbelanja, saya khawatir kita akan menjadi golongan yang biasa-biasa saja. Kita tidak akan banyak bicara (lalu bagaimana kita bisa menjadi komunikator handal?), kita akan selalu mengambil jalur lambat (lalu bagaimana kemampuan mengemudi kita bertambah?), kita akan kekurangan gizi dan tampak outdated (lalu bagaimana orang akan menghargai kita jika kita tidak menghargai diri sendiri?) Setiap kita perlu, wajib, harus melakukan kesalahan, untuk mengetahui bahwa itu salah. Post ini bisa jadi salah bagi saya beberapa waktu kedepan, tapi saya tidak akan menyesal. Saya perlu membuat post yang iseng atau tidak berguna, supaya saya belajar mengenai dampak hal yang iseng dan tidak berguna itu. Kalau kita sudah belajar mengenai dampaknya, kita akan memperbaiki cara kita untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah caranya Hidup. Itulah seninya Hidup. Penting untuk diingat, “Menjadi-Tidak-Terlalu-Berhati-Hati” bukan sama dengan “Menyengaja-Untuk-Menjadi-Egosentrik”. Tidak, tidak begitu. Sampai batas-batas tertentu, menjadi egois itu bisa diterima. Tetapi bila lewat dari itu, artinya kita sudah kelewatan. (Ya namanya juga 'lewat' ya pasti kelewatan). Segeralah beristighfar, dan memperbaiki diri. Lalu Batasan Egois yang Bisa Diterima itu yang Seperti Apa? Kalau kata pelajaran PPKN jaman SD dulu, egois yang bisa diterima adalah egois yang 'tidak merugikan hak orang lain'. Tentu saja, klau kita mewawancara social circle kita, pasti daftar hak-nya tak hingga, dan justru kontraproduktif. Cara paling praktis untuk mempelajarinya adalah dengan bertindak sesuai judgment kita, lalu minta/pahami tanggapan orang lain di sekitar kita, 'Apakah perbuatan/omongan saya kelewatan?' Jika ya, segera meminta-maaf, lalu jangan ulangi lagi. Menjadi Manusia Pembelajar itu butuh keberanian dan energi yang besar. Berani untuk bertindak, berani untuk berbuat salah, berani meminta maaf. Tapi bukankah lebih baik menjadi Manusia Pembelajar ketimbang Manusia Biasa-Biasa Saja? Manusia Pembelajar Bukan Menciptakan Kesmpurnaan, tapi Menciptakan Peluang The Thinker: Pembelajar atau Filosof? Seperti yang saya lemparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, tugas kita sebagai manusia pembelajar bukanlah untuk menciptakan kesempurnaan. Jika kamu berpikir seperti ini, niscaya kamu bakal terkekan, merasa sangat overwhelmed, dan letih karena merasa harus menjaga 'idealisme' serupa. Percayalah, I've been there, dan rasanya tidak nyaman. Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk yang 'terdistorsi' dari citra keilahian. Ia Maha Penyabar, manusia hanya Sabar. Ia Maha Pengampun, manusia hanya bisa memaafkan. Maka saya rasa Tuhan tidak menghendaki kesempurnaan bagi manusia. Jika tidak, pastilah Ia menciptakan kita sama dengan malaikat. Tiba-tiba terlahir sempurna. Jangan salah, saya tidak bilang bahwa kita tidak perlu mengejar kesempurnaan. Justru sempurna-nya manusia itu karena ia tahu bahwa ia tidak sempurna, dan ia berusaha untuk menjadi lebih baik. Jika seseorang merasa ia sudah sempurna, maka selesai! Tak ada pembelajaran lagi. Tugas kita sebagai Manusia Pembelajar adalah untuk secara konsisten Menciptakan Peluang untuk menjadi lebih baik (sempurna). Seorang mahasiswa tidak akan lulus dengan gemilang, dalam artian memahami mata-kuliah yang dipelajari, jika ia melewatkan kesempatan untuk berdiskusi, mensimulasi, dan menguji-coba ilmu yang dia dapat. Mahasiswa harus menciptakan peluang untuk bisa belajar dengan lebih lengkap, lebih mendalam, lebih baik, dengan berkumpul dan berdiskusi, berorganisasi, berdebat, membaca teks, dan sebagainya. Begitu juga kita. Kita harus mencari peluang. Berani untuk mengambil kesempatan, dan berani untuk menerima konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Tidak apa-apa bila pilihan itu salah, karena dari situlah kita benar-benar belajar. Setiap kesalahan yang kita ambil adalah peluang untuk memperbaiki diri. Ambil positif-nya saja, dan terus melangkah. Jangan pernah takut salah. Labrak! Terimakasih kepada Sir Andrias Harefa, yang telah menciptakan istilah Manusia Pembelajar. :) GBU.
Whatssuup! It's been a long while, eh? I've been busy with my job, and some other things that requires my attention, so it's hard to put my thought on this blog. But here I am now, and I'm so ever thankful for my reses, because it left me with this great idea of how to Keep Sane In Your Workplace. Hehe, read on... Cara Tetap Waras di Tempat Kerja Oke, kecuali kita seorang pengangguran kaya raya, kita pasti pernah merasa overwhelmed dengan pekerjaan yang datang berduyun-duyun dari seantero mata angin. Kalau Anda karyawan seperti saya, skema penumpukan (hehe) berlangsung sebagai berikut: Ketika proyek A belum selesai, muncul proyek B. Ketika proyek A hampir selesai, dan proyek B dipersiapkan, diundanglah meeting untuk proyek C, daaan seterusnya. Meskipun kita mungkin tidak mau mengakui bahwa hal itu adalah tekanan, (“tak ada tekanan, yang ada tantangan!” katanya) kita harus menyadari bahwa otak dan fisik kita dituntut untuk bekerja secara maksimal dan konstan. Hati-hati, karena itu bisa berbalik buruk untuk kita. Salah-salah, bukannya sukses memberi hasil, kita malah sukses masuk rumah sakit karena tipus atau frustasi. Sebetulnya hanya ada 2 tips pamungkas untuk Tetap Waras Di Tempat Kerja, yaitu:1) Miliki treshold terhadap stress yang sangat tinggi, dan 2) Mengelola pekerjaan agar tidak menumpuk. Tips kedua inilah yang akan saya bahas hari ini. Prioritas Iya sih, tampaknya memang klise. Tapi percayalah, 'membuat prioritas' itu lebih mudah diucapkan 1000 kali ketimbang dilakukan secara menyeluruh dan konsisten. Banyak dari kita – termasuk saya dulu, dulu yah – yang menetapkan prioritas di awal hari, lalu kesulitan memelihara prioritas itu di siang hari, dan gagal menyelesaikan prioritas di sore hari. Hal ini tidak hanya meninggalkan rasa pahit di lidah (karena kena cipratan ludah si bos), tapi juga rasa tidak puas sebagai pribadi. Sudah terlalu banyak korban dari kejahatan kerah putih seperti ini. Terlalu banyak... Maka, mari kita sama-sama saling meningatkan bagaimana cara untuk menepati prioritas kita. Ingat, prioritas itu janji pada diri sendiri, dan janji harus ditepati. Kalau gagal, harusnya kita puasa kifayat 3 hari berturut-turut, hehe~ www.rainmakerlawyer.com Kuadran Prioritas adalah konsep yang sangat brilian, tapi biasanya orang bingung gimana harus memilah-milih pekerjaannya antara penting-genting dan tidak penting – tidak genting, or somewhere in between. Mengkotak-kotakan pekerjaan seperti ini pasti membingungkan, setidaknya untuk saya. Bagaimana saya tahu itu kuadran 1 dan bukan 2? Sepertinya mirip-mirip, hehe.. Jadi apa yang saya lakukan? Saya membuat list pekerjaan yang harus dilakukan pada hari itu, dan kemudian melingkari pekerjaan yang: 1. Berdampak pada departemen lain/pekerjaan orang lain; 2. Deadline-nya dekat; dan 3. Tidak ada ruang untuk negosiasi deadline. Ingat, itu 'DAN' yah, bukan 'ATAU'. Saya tentukan prioritasnya berdasarkan 3 hal tersebut. Oke, sekarang, kita sudah punya prioritas. Lalu? Fokus adalah langkah selanjutnya. Fokuslah hanya pada TIGA (3) pekerjaan yang paling tinggi. Dan kerjakan TIGA perkerjaan itu, berturut-turut. Tentu dengan istirahat sejenak diantaranya. Jika Anda mendapatkan tugas baru saat sedang mengerjakan pekerjaan itu, tulis saja di kertas atau “post-it”, dan tempelkan di dahi, lalu kembali kerjakan tiga hal yang tadi. Hehe, dahi hanya perumpamaan, artinya langsung lupakan. Bagaimana jika ada meeting dadakan? Tanyakan dulu apakah kehadiran Anda tidak bisa digantikan dalam meeting tersebut? Jika jawabannya ya, ya mau gimana lagi.. hehe... Tapiii.. setelah kembali dari meeting, mau tidak mau, SELESAIKAN TIGA PRIORITAS itu! Intinya, objective Anda di hari itu adalah mengerjakan Tiga Prioritas. Saat Anda berhasil menyelesaikannya, Anda baru boleh naik level. Nah, seumpamanya Anda sudah selesai mengerjakan prioritas itu dan selesai di sore hari, apa yang mesti Anda lakukan? Well, rayakan sejenak dengan beristirahat dan minum kopi, mungkin chatting bentar ma temen, lalu kerjakan prioritas selanjutnya. Itu bonus level, namanya. Hehehe... Apakah cukup sampai disitu? Tentu tidak. Berani Berkata Tidak adalah faktor penentu keberhasilan usaha Anda seharian. Bayangkan jika Anda terus-terusan menempel “post-it” di dahi Anda... Tidak hanya pandangan Anda akan teralihkan (hehe), tapi secara psikologis Anda jadi lebih tertekan karena memikirkan pekerjaan selanjutnya. Jurus pamungkas untuk mengelola pekerjaan adalah dengan Berani Berkata Tidak. Mungkin tidak blak-blakan, “Ga mayuu!” seperti anak Te-Ka. Akan tetapi Berkata Tidak 'ala Kerah Putih. Hehe, seperti apakah? Andaikan Anda sedang asik mengerjakan pekerjaan A. Lalu bos Anda muncul di hadapan Anda, lalu bilang, “Cuy, saya butuh analisa pasar dari tahun 2008, spek-nya bla bla bla...” Daripada keblinger mikir caranya, tanyakan dulu “Kapan deadline-nya, Bos?” Kalau si Bos bilang, “Sore ini ya.”. Anda jangan keburu asma. Tapi katakan, “Saya sedang mengerjakan pekerjaan A, B, dan C. Apa bisa analisanya saya kerjakan besok pagi? Atau apakah pekerjaan B dan C bisa saya alihkan besok?” Lalu berikan penjelasan singkat untuk tiap pekerjaan. (Ingat, penjelasan loh, bukan keluhan.) Well, karena bos adalah orang yang memberi pekerjaan pada Anda, sudah jadi kewajiban moralnya untuk membantu Anda untuk bisa menyelesaikan pekerjaan. Jadi, most likely dia bakal memberikan keringanan atau keputusan menggeser prioritas. Tapi, jika Anda cukup sial untuk mendapatkan bos tipe Y, maka Anda yang harus mengambil keputusan bagi diri Anda sendiri, dan siap menanggung konsekuensinya. Hanya, siapkan saja alasan yang masuk akal untuk orang-orang terkait. Hehe... Oke deh, sekian saja. Semoga bermanfaat! :D (untuk penjelasan lebih baik soal Kuadran Prioritas, lihat disini. Untuk penjelasan yang lebih sempurna soal Fokus, lihat disini.) Tulisan kali ini adalah momento pembicaraan saya dengan seorang teman melalui BBM. Ceritanya, saat itu saya baru aja selesai dengerin curhat orang tua tentang pernikahan impian saya. Bukan pernikahan yang saya impikan loh, tapi pernikahan impian anak mereka. ( ´∀`) Ide mereka tentang pernikahan yang bermakna-spesial-luarbiasa, (yang saya tangkap) adalah sebuah pernikahan yang grandeur, yang selain dihadiri oleh keluarga dan teman, juga dipenuhi oleh rekan kerja mereka (yang saya ga kenal), undangan VIP dan VVIP (yang saya ga kenal juga), dan mencerminkan pernikahan impian mereka yang ga kesampaian saat mereka nikah dulu. (^__^") Saya tak berlama-lama menyesali nasib, karena tak lama status seorang teman mencuri perhatian saya: "Anak percobaan". Dibawah ini saya copas pembicaraan kami, dengan perubahan seperlunya untuk menghindari identifikasi (hehe) Saya : Hah, kenapa anak percobaan? Dia : Biasalah.. Biasanya anak pertama kan jadi anak percobaan... Saya : ... Aku juga ngerasa gitu. Dia : Iya kan...? It's a privilege and simultaniously a pressure Pembicaraan singkat ini bener-bener menekan tombol mikir saya. Iya ya, saya anak pertama. Apakah perilaku orang tua saya ini ada hubungannya dengan saya yang menjadi anak pertama? Lalu pertanyaannya berevolusi menjadi: Kenapa anak pertama adalah berkah sekaligus beban? Setelah melepaskan ego dan menempatkan diri saya dalam fresh point of view (fenomenologis banget), saya mencoba memosisikan diri saya pada sudut pandang orang tua. Dan inilah yang saya dapatkan: Anak pertama adalah berkah, karena kita lah buah cinta orang tua yang kehadirannya dinanti-nanti, yang muncul saat mereka masih muda dan penuh gairah, naif sekaligus penuh rencana. Anak pertama itu spesial. Ketika kita lahir, mereka beradu-pandang lalu membusungkan dada dengan kesombongan lembut ala orang tua: "Inilah anakku." "Dialah pembawa pedang dan perisai harapan kami." Bersama itu, lahir pula harapan-harapan mereka, tentang bagaimana kehidupan si anak kelak. Dan rajutan mimpi ditenun untuk sang buah hati. Mereka baru belajar menjadi orang tua, jadi wajar mereka terlalu banyak memberi arahan dan tekanan karena ingin si anak ini sempurna. (Butuh satu orang anak lagi atau belasan tahun parenting untuk menyadari bahwa tidak ada anak yang sempurna, hehe). Ketika anaknya masuk sekolah, mereka begitu bersemangat mencari informasi untuk dapat memasukkan kita ke SD terbaik, SMP terbaik, SMA terbaik, dan Universitas terbaik. Kalau bisa masukin juga ke kursus-kursus terbaik yang prestisius. Saat berulang tahun, sebisa mungkin mereka berikan hadiah yang terbaik semampu mereka, dan besertanya dirajut pula harapan-harapan baru. Begitulah. Jadi pantaslah jika sang anak merasa beban harapan orang tua ditanggung begitu berat. Terutama oleh anak pertama, karena dalam hidupnya lah hal-hal yang pertama terjadi dalam kehidupan orang-tuanya muncul. Jadi, kembali ke pernikahan impian, mungkin itu juga usaha keras orang tua untuk mewujudkan pernikahan anak impian mereka. Mereka punya mimpi tentang bagaimana mereka akan melangsungkan pernikahan anak mereka, yang dalam kasus saya, privilege ini diberikan kepada anak pertama. Setelah saya pikir-pikir, tidak buruk-buruk amat. Ini kan impian mereka, apa salahnya sih membantu orang tua mewujudkan mimpi mereka? I just have to play along with it. I'm sure it will be great! Lalu bagaimana dengan pernikahan impian saya? Ya, impian itu saya tunda dulu lah, dan diwujudkan pada pernikahan anak saya nanti. Hahahhaha! *Maaf ya Nak, I have a dream too...* | Memoar
My #1 Passion is to learn and share knowledge and wisdom from as many awesome people, like you. ArchivesNovember 2011 CategoriesAll |